Larutan standar

Kurva titrasi asam oksalat, suatu larutan baku primer, dengan natrium hidroksida

Dalam kimia analitik, suatu larutan standar atau larutan baku adalah suatu larutan yang mengandung konsentrasi yang diketahui secara tepat dari unsur atau zat. Larutan standar biasanya berfungsi sebagai titran sehingga ditempatkan buret, yang sekaligus berfungsi sebagai alat ukur volume larutan baku. Larutan yang akan ditentukan konsentrasinya atau kadarnya, diukur volumenya dengan menggunakan pipet volumetri dan ditempatkan di erlenmeyer larutan standar yang digunakan untuk menentukan konsentrasi zat lain, seperti larutan dalam titrasi.[1]

Konsentrasi larutan standar biasanya dinyatakan dalam satuan mol per liter (mol / L, sering disingkat M untuk molaritas), mol per desimeter kubik (mol/dm3) atau kilomol per meter kubik (kmol/m3). Suatu standar sederhana diperoleh melalui pelarutan unsur tunggal atau suatu zat dalam pelarut yang mampu yang mana akan bereaksi dengannya.

Penggolongan

Larutan baku primer

Larutan baku primer merupakan larutan yang mengandung zat padat murni yang konsentrasi larutannya diketahui secara tepat melalui metode gravimetri (perhitungan massa), dapat digunakan untuk menetapkan konsentrasi larutan lain yang belum diketahui. Nilai konsentrasi dihitung melalui perumusan sederhana, setelah dilakukan penimbangan teliti dari zat pereaksi tersebut dan dilarutkan dalam volume tertentu.Contoh larutan baku primer diantaranya larutan kalium dikromat (K2Cr2O7), natrium klorida (NaCl), asam oksalat, dan asam benzoat.[2]

Syarat-syarat larutan baku primer:

  • Zat harus mudah diperoleh, dimurnikan, dikeringkan (jika mungkin pada suhu 110-120 °C) dan disimpan dalam keadaan murni. (Syarat ini biasanya tak dapat dipenuhi oleh zat- zat terhidrasi karena sukar untuk menghilangkan air-permukaan dengan lengkap tanpa menimbulkan pernguraian parsial.)
  • Zat harus tidak berubah berat dalam penimbangan di udara; kondisi ini menunjukkan bahwa zat tak boleh higroskopis, tak pula dioksidasi oleh udara atau dipengaruhi karbon dioksida.
  • Zat tersebut dapat diuji kadar pengotornya dengan uji- uji kualitatif dan kepekaan tertentu.
  • Zat tersebut sedapat mungkin mempunyai massa relatif dan massa ekuivalen yang besar.
  • Zat tersebut harus mudah larut dalam pelarut yang dipilih.
  • Reaksi yang berlangsung dengan pereaksi harus bersifat stoikiometrik dan langsung.

Larutan baku sekunder

Larutan baku sekunder merupakan larutan yang mengandung suatu zat yang konsentrasinya tidak dapat diketahui dengan tepat karena berasal dari zat yang tidak pernah murni. Konsentrasi larutan ini ditentukan dengan pembakuan menggunakan larutan baku primer, biasanya melalui metode titrimetri. Contoh larutan baku sekunder diantaranya larutan perak nitrat (AgNO3), kalium permanganat (KMnO4), besi(II) sulfat (FeSO4) dan natrium hidroksida (NaOH).[2]

Syarat-syarat larutan baku sekunder:

  • Derajat kemurnian lebih rendah daripada larutan baku primer
  • Mempunyai berat ekivalen yang tinggi untuk memperkecil kesalahan penimbangan
  • Larutannya relatif stabil dalam penyimpanan.

Penggunaan

Titrasi

Suatu larutan asam dapat distandardisasi oleh titrasi terhadap larutan basa dengan konsentrasi yang diketahui. Setelah ini dihitung, ia pada gilirannya dapat digunakan sebagai larutan standar untuk mencari konsentrasi larutan basa.

Larutan standar juga sering digunakan untuk menentukan konsentrasi suatu spesi analit. Dengan membandingkan absorbansi dari larutan sampel pada panjang gelombang tertentu dengan serangkaian larutan standar pada konsentrasi diketahui yang berbeda dari spesi analit, konsentrasi larutan sampel dapat dilihat melalui Hukum Beer. Setiap bentuk spektroskopi dapat digunakan dengan cara ini selama spesi analit memiliki absorbansi cukup besar dalam spektrum. Larutan standar adalah panduan referensi untuk menemukan molaritas spesi yang tidak diketahui.

Metode titrasi dapat digunakan untuk memperoleh konsentrasi larutan standar. Hal ini melibatkan menggunakan peralatan seperti buret.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Freiser, Henry; Nancollas, George H (1987). Compendium of Analytical Nomenclature: Definitive Rules 1987. Oxford: Blackwell Scientific Publications. hlm. 48. ISBN 0-632-01907-7. 
  2. ^ a b Basset, J.; Jeffery, G.H.; Mendham, J. (1978). Vogel's Text Book of Quantitative Inorganic Analysis. London: Imperial College.